Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan dua pulau yang terletak di bagian timur laut Kalimantan, Indonesia. Kedua pulau ini sempat menjadi objek sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia selama lebih dari lima puluh tahun. Pertikaian kedua negara ini akhirnya berakhir ketika Mahkamah Internasional (ICJ) pada tahun 2002 memutuskan bahwa kedua pulau tersebut adalah milik Malaysia. Namun, apa sebenarnya yang melatarbelakangi sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan ini?
Sejarah Awal
Sengketa Sipadan dan Ligitan berawal dari Perjanjian antara Inggris dan Belanda pada 20 Juni 1891 yang menentukan batas wilayah kedua negara di Kalimantan atau yang dikenal dengan sebutan “Perjanjian Linggarjati”. Perjanjian tersebut gagal menentukan status pulau-pulau yang berada di luar garis batas tersebut, termasuk Sipadan dan Ligitan. Akibatnya, status kedua pulau tersebut menjadi abu-abu dan menjadi sumber konflik di masa depan.
Pemicu Sengketa
Sengketa ini semakin memuncak ketika Malaysia pada 1969 mengklaim kedua pulau tersebut berdasarkan asas “effectivités”, yaitu suatu asas dalam hukum internasional yang menyatakan bahwa suatu negara dapat mengklaim wilayah tertentu jika negara tersebut memiliki kontrol efektif atas wilayah tersebut.
Malaysia berargumen bahwa mereka memiliki kontrol efektif atas Pulau Sipadan dan Ligitan karena mereka telah dijaga oleh polisi Malaysia, dikenakan pajak oleh pemerintah Malaysia, dan diberikan hak eksplorasi minyak kepada perusahaan dari Malaysia. Sementara itu, Indonesia berpendapat bahwa mereka memiliki hak berdasarkan perjanjian tahun 1891 dan penduduk asli kedua pulau tersebut adalah masyarakat Indonesia.
Putusan Mahkamah Internasional
Sengketa ini akhirnya diajukan ke Mahkamah Internasional (ICJ) oleh Indonesia pada tahun 1998. Setelah melakukan investigasi dan pemeriksaan, ICJ pada tanggal 17 Desember 2002 memutuskan bahwa kedua pulau tersebut adalah bagian dari wilayah Malaysia berdasarkan asas “effectivités”.
Kesimpulan
Dalam hal ini, putusan ICJ adalah mengingatkan bahwa dalam penyelesaian sengketa wilayah, bukan hanya sejarah dan perjanjian saja yang menjadi pertimbangan, tetapi juga “effectivités” atau kontrol efektif suatu negara atas wilayah tersebut. Putusan ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia dan negara-negara lainnya untuk selalu menjaga dan mengelola wilayah mereka dengan baik agar tidak menjadi objek sengketa di masa depan.












