Seragam menunjukkan identitas suatu organisasi, perusahaan atau sekolah dan menciptakan suasana kerja atau belajar yang resmi dan profesional. Batik, sebagai salah satu warisan kultural Indonesia, tidak jarang dipilih sebagai seragam di berbagai instansi atau perusahaan. Namun, apakah setiap individu merasakan kenyamanan yang sama ketika mengenakan batik? Kasus Rangga ini menciptakan sebuah pertanyaan yang menarik untuk ditelisik lebih dalam.
Sejatinya, pemilihan batik sebagai seragam bukan tanpa alasan. Batik merupakan simbol dari warisan budaya Indonesia dan perwujudan dari semangat kebangsaan. Batik, dengan corak dan motifnya yang unik, mengungkapkan banyak makna dan cerita. Mengenakan batik sebagai seragam, oleh karenanya, juga menjadi sebuah bentuk apresiasi dan kebanggaan terhadap warisan budaya negeri ini.
Namun, di sisi lain, ada individu-individu seperti Rangga yang merasa bahwa mengenakan batik membuat mereka terlihat lebih tua. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah persepsi masyarakat, dimana batik cenderung sering dilihat dikenakan oleh orang-orang dalam acara-acara formal atau oleh kalangan yang lebih dewasa.
Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan opini Rangga. Selera pakaian adalah hal yang personal dan subjektif. Apa yang nyaman dan menarik di mata satu orang, mungkin tidak demikian bagi orang lain. Sebagai manusia, kita semua memiliki hak untuk mengekspresikan diri, termasuk dalam hal berpakaian.
Namun, jika Rangga menganggap bahwa batik hanya membuatnya terlihat tua, mungkin ada cara-cara untuk memandang dan memakai batik dengan sudut pandang yang berbeda. Batik kini bisa ditemui dalam berbagai model dan gaya, tidak hanya terbatas pada model klasik atau formal. Ada batik dalam model kemeja casual, dress, rok, dan bahkan sepatu. Batik juga bisa dikombinasikan dengan pakaian-pakaian modern untuk menciptakan tampilan yang lebih muda dan trendi.
Mungkin, pendekatan yang bisa diambil adalah memberi pengertian kepada Rangga bahwa batik bukan hanya tentang penampilan tua atau muda, tapi lebih tentang merayakan dan merasa bangga dengan budaya kita. Dengan berdialog dan menyodorkan opsi-opsi lain dari batik, harapannya ia dapat melihat batik dengan sudut pandang yang baru dan lebih luas. Dengan demikian, ia mungkin akan lebih nyaman dan bangga mengenakan batik.
Secara keseluruhan, keberatan Rangga tentang batik sebagai seragam mengajarkan kita bahwa dalam menghargai budaya dan tradisi, kita juga harus menghormati individualitas dan preferensi seseorang. Pada akhirnya, sejauh mana seseorang merasa terwakili dan merasa nyaman dengan pilihan pakaiannya adalah yang terpenting.