Dalam mengadministrasikan konstitusionalitasnya, pemerintah berwenang untuk menerapkan beberapa tindakan yang dianggap perlu bagi stabilitas dan kesejahteraan negara. Di antara banyak variabel dalam pengambilan kebijakan, kebebasan pers seringkali menjadi subjek yang sensitif dan menyangkut aspek-aspek dasar masyarakat demokratis modern.
Di Indonesia, selama periode Orde Baru (1966-1998) di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, kontrol terhadap kebebasan pers mengalami perubahan signifikan. Salah satu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam mengekang kebebasan pers adalah melalui implementasi Undang-Undang Pers No. 21 Tahun 1982.
Undang-Undang Pers No. 21 Tahun 1982
Undang-Undang ini dikeluarkan dalam rangka menciptakan ‘pers yang sehat’. Namun, dalam implementasinya, UU ini banyak dikritik karena mengekang kebebasan pers. Salah satu pasal dalam UU ini mengharuskan perusahaan pers untuk mendapatkan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang diberikan oleh Departemen Penerangan.
SIUPP ini dapat dicabut kapan saja oleh pemerintah jika perusahaan pers dianggap melanggar ketentuan. Dengan adanya aturan ini, pemerintah Orde Baru memiliki kekuatan untuk mengawasi dan mengendalikan isi berita yang dipublikasikan oleh media massa, sehingga menyamarkan berbagai kebijakan dan aktivitas pemerintah dari perhatian publik.
Pengawasan yang ketat atas kebebasan pers juga dibuktikan dengan adanya pembredelan terhadap beberapa media massa yang dianggap kritis terhadap pemerintah. Pembredelan ini dilakukan melalui berbagai cara, seperti pencabutan SIUPP, pelarangan distribusi, hingga penutupan paksa redaksi.
Implementasi Undang-Undang Pers No. 21 Tahun 1982 secara efektif membatasi kebebasan pers dan mendistorsi dinamika media. Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Orde Baru yang lebih berfokus pada stabilitas politik dibandingkan kebebasan pers dan ekspresi.
Bagaimanapun, mengakui pentingnya peran media dalam membentuk opini publik, pemerintah Orde Baru mengekang media sebagai cara untuk mempertahankan otoritasnya. Mereka menggunakan peraturan dan undang-undang untuk meredam suara-suara kritis, membatasi ruang bagi pers untuk menjalankan fungsi kontrol sosialnya.
Begitu juga dalam konteks ini, perlu juga dicatat bahwa penerapan UU Pers No. 21 tahun 1982 yang mengekang kebebasan pers selama era Orde Baru merupakan bukti bagaimana negara menggunakan kebijakan dan regulasi untuk mengekang suara-suara kritis.
Jadi, jawabannya apa? Jawabannya adalah salah satu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dalam mengekang kebebasan pers adalah implementasi Undang-Undang Pers No. 21 Tahun 1982 yang memberikan pemerintah kontrol untuk mengawasi dan mengendalikan isi berita yang dipublikasikan oleh media massa.