Sebagai makhluk ciptaan, manusia memiliki banyak kelemahan dan keterbatasan. Tubuh kita bisa sakit, hati kita bisa terluka, dan pikiran kita bisa lekas kelelahan. Kelemahan-kelemahan ini, ironisnya, bukanlah hal yang negatif melainkan pengingat bagi kita tentang keabadian dan kekuatan Al-Mighty. Dalam setiap situasi dan keadaan, kita dituntut untuk selalu mengingat Allah SWT. Hal ini bukan hanya berkaitan dengan pengakuan bahwa manusia itu lemah dan sangat tergantung kepada-Nya, tetapi juga sebagai upaya melengkapi kekurangan tersebut.
Remaja yang tengah mencari jati diri, pekerja yang berjuang untuk menafkahi keluarga, bahkan pensiunan yang berusaha mempertahankan kesehatannya, semuanya memiliki tantangan dan kekurangan masing-masing. Di sini lah peran penting sujud kepada Allah SWT; bukan saja sebagai bentuk ritual ibadah, melainkan manifestasi pengakuan kita tentang kelemahan sebagai manusia dan kebutuhan absolut kita untuk mendapatkan petunjuk dan perlindungan-Nya.
Psikologi Diri dan Pengakuan atas Ketergantungan
Pengakuan atas kelemahan dan ketergantungan kita terhadap Allah SWT adalah salah satu pilar psikologis dalam membangun hubungan spiritual yang sehat. Dalam penelitian psikologi, hal ini sering dikaitkan dengan konsep “humility” atau kerendahan hati. Para psikolog menjelaskan bahwa individu yang memiliki tingkat kerendahan hati yang tinggi cenderung memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik. Mereka lebih menerima diri mereka sebagaimana adanya, dengan segala kelemahan dan kekurangannya, dan ini membantu mereka untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan Tuhan.
Salah Satu Upaya Melengkapi Kekurangan
Ketika kita mampu memahami dan menerima keterbatasan diri, akan muncul keinginan untuk terus belajar dan berkembang. Mengingat Allah dalam setiap situasi, dalam setiap napas—baik dalam kesenangan maupun kesusahan—dapat menjadi salah satu upaya untuk melengkapi kekurangan tersebut.
Doa-doa dan dzikir, misalnya, bukan hanya ekuivalen verbal dari pengingatan, tetapi juga pemacu perbuatan. Menyandarkan segala urusan kepada-Nya, atau tawakal, adalah langkah konkret melengkapi kekurangan kita. Menyerahkan kecemasan, kesedihan, dan bahkan kebahagiaan kepada Allah adalah cara kita memburu kedamaian dan ketenangan hati.
Kesimpulan
Betapa pun kuat dan mandiri kita merasa, kita harus senantiasa ingat bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan sangat bergantung pada Allah SWT. Perpaduan antara penyerahan diri secara total kepada-Nya dan usaha maksimal dalam melengkapi kekurangan bisa menjadi kunci kebahagiaan dan kenikmatan hidup. Let’s make every heartbeat a remembrance of Him.