Hutang piutang merupakan suatu aktivitas ekonomi yang telah berlangsung sejak zaman dahulu. Menjadi sebuah norma dalam hidup bermasyarakat, pemahaman terhadap mekanisme hutang piutang sangat penting. Terlebih lagi, apabila transaksi tersebut disertai tambahan atau sistem riba, membuat pertanyaan berikut menjadi relevan : “Hutang piutang yang disertai tambahan atau sistem riba hukumnya adalah?”
Riba, dikenal juga dengan istilah bunga atau faedah, ialah suatu ketentuan yang menyebabkan pihak yang berhutang harus membayar sejumlah tambahan kepada pihak yang memberikan pinjaman. Namun, apa hukum dari praktik semacam ini?
Arti Riba Menurut Hukum
Riba berasal dari bahasa Arab yang berarti tambahan atau kelebihan. Dalam konteks ekonomi dan muamalah (transaksi bisnis), riba merujuk pada penambahan jumlah yang harus dikembalikan dari pinjaman, yaitu lebih dari jumlah yang seharusnya atau disepakati.
Dalam ajaran Islam, praktik riba dinyatakan haram. Hal ini tertuang dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 275-279 yang menyatakan bahwa mereka yang mengambil riba tidak akan berdiri kecuali seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Ayat tersebut menunjukkan betapa seriusnya hukum riba dalam pandangan Islam.
Riba dan Hukumnya
Hukum riba, dalam konteks pinjaman atau hutang piutang, adalah haram. Hal ini tidak hanya berlaku dalam ajaran Islam, tapi juga ditemukan dalam ajaran agama lain.
Selain itu, dalam konteks hukum positif di berbagai negara termasuk Indonesia, riba seringkali dilarang atau diatur dengan sangat ketat. Misalnya, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan mengatur bahwa bank tidak boleh melakukan praktik riba dalam operasionalnya.
Implikasi Praktik Riba
Praktik riba dalam hutang piutang menciptakan ketidakadilan ekonomi. Orang yang berhutang dipaksa untuk membayar lebih dari yang mereka pinjam, sedangkan orang yang meminjamkan uang mendapatkan keuntungan tambahan tanpa adanya kontribusi produktif dalam proses tersebut.
Selain itu, riba juga dapat menciptakan siklus kemiskinan yang sulit ditembus. Orang yang berhutang menjadi semakin terpuruk dalam utang karena harus membayar tambahan yang terus-menerus. Ini jelas tidak sesuai dengan prinsip keadilan sosial dan ekonomi.
Penutup
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hutang piutang yang disertai tambahan atau sistem riba, berdasarkan hukum Islam dan sejumlah hukum di berbagai negara, dinyatakan sebagai praktek yang haram dan tidak sah. Oleh karena itu, dimanapun berada, setiap individu dihimbau untuk menghindari praktek ini demi menjaga keadilan dan keseimbangan sosial ekonomi.
Jadi, jawabannya apa? Hukum hutang piutang yang disertai tambahan atau sistem riba adalah haram dan tidak sah.