Di bawah kerimbunan dari hijaunya pepohonan, seorang kakek tampak berjalan dengan sang cucu, seorang gadis belia yang menawan. Mereka memilih untuk duduk di bawah pohon rindang, tempat yang seolah menjadi tempat pelarian dari panas terik matahari. Gadis itu dengan berani bertanya pada kakeknya, ingin mengetahui lebih jauh tentang riwayat hidupnya, tentang dua sosok orang tua yang diselubungi misteri.
Hening sesaat memeluk atmosfer. Kakek itu tampak tenggelam dalam kenangan. Kemudian, dengan nada lirih dan mata yang berbinar, sang kakek mulai bercerita.
“Delapan belas tahun yang lalu,” katanya, “seorang pemuda dari kota datang berkunjung ke desa kita ini.” Mencerna kata-katanya, seolah kita juga dapat melihat lanskap desa itu, dengan rumah-rumah bambu dan sawah hijau yang merekah, tempat di mana alur cerita ini berlangsung.
Pemuda itu, dengan segala pesona dan kejutan kota, terpikat oleh seorang gadis desa yang jelita. Gadis itu bukan lain adalah putri kakek tersebut, bunga terindah di desanya. Akhirnya, cinta memadukan mereka dalam ikatan pernikahan.
“Setelah itu,” lanjut sang Kakek, “mereka memutuskan untuk meninggalkan desa ini dan mengejar hidup di kota, menjalani kehidupan yang mereka impikan.”
Sejak itu, desa ini menjadi saksi bisu dari gema cerita yang masih terjaga. Toh, siapa yang bisa mengabaikan pesona desa ini? Desa yang menjadi latar tempat cerita, tempat dimana sebuah cinta bermula dan sebuah keluarga terbentuk.
Latar tempat pada cerita di atas adalah sebuah desa yang rindang, sebatang kisah yang tak hanya merepresentasikan latar belakang dari sebuah cerita, tetapi sekaligus menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.